Tulisan ini dibuat untuk memberi penjelasan beberapa pertanyaan yang diajukan oleh mas Adidthya. Jika boleh jujur, saya ingin mengatakan bahwa yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya. Pasalnya, sepanjang pengetahuan saya, istilah konflik batin belum pernah saya temukan dalam literatur-literatur dari beberapa aliran psikologi yang pernah saya baca. Berdasarkan pengamatan, istilah ‘batin’ justru sering muncul dalam karya-karya fiksi atau tulisan-tulisan yang membahas tentang kebatinan, semisal “Kawruh Bedjo”nya Ki Ageng Surjo Mentaram. Namun, istilah konflik batin merupakan sebuah realitas yang banyak berkembang alias digunakan masyarakat luas, maka dalam tulisan ini saya mencoba memberi uraian sebisa mungkin sesuai dengan kapasitas penulis.
Untuk memudahkan pembahasan, pertama-tama, istilah tersebut akan ditinjau dari sudut etimologis. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, di sebutkan bahwa konflik memiliki arti (1) percekcokan; perselisihan; pertentangan; (2) ketegangan atau pertentangan di dalam cerita rekaan atau drama ( pertentangan antara dua kekuatan , pertentangan dalam diri satu tokoh, pertentangan antara dua tokoh, dsb ). Sedangkan batin, di dalam kamus tersebut, diartikan : (1) yang terdapat di dalam hati; yang mengenai jiwa ( perasaan hati dsb )…..; (2) yang tersembunyi ( gaib; tidak kelihatan )…..; (3) semangat; hakikat : lahirnya menolong, batinnya menggolong, kelihatannya speperti hendak menolong, tetapi hakikatnya merugikan.
berbatin : berkata ( membaca ) di hati;
membatin : memikir di hati; memikirkan sampai meresap ke dalam hati;
membatinkan : merahasiakan ; menyembunyikan; menyimpan di hati;
kebatinan : 1 keadaan batin ( dalam hati ); segala sesuatu yang menyangkut masalah batin; 2 ilmu yang menyangkut masalah batin; mistik; 3 ajaran atau kepercayaan bahwa pengetahuan kepada kebenaran dan ketuhanan dapat dicapai dengan penglihatan batin; tasawuf; 4 ilmu yang mengajarkan jalan menuju ke kesempurnaan batin; suluk.
Dengan penjabaran secara etimologis tersebut, Kamus Besar Bahasa Indonesia memberi arti konflik batin sebagai berikut : konflik yang disebabkan oleh adanya dua atau lebih gagasan atau keinginan yang bertentangan menguasai diri individu sehingga mempengaruhi tingkah laku;……
Dari uraian tersebut jelas bahwa untuk istilah konflik batin ini, arti yang dipergunakan untuk kata batin adalah arti pada poin (1) yaitu “yang terdapat di dalam hati” atau “yang mengenai jiwa ( perasaan hati dsb )”, bukan arti pada poin lain. Jadi, konflik batin merupakan pertentangan yang terdapat dalam hati seseorang akibat adanya dua atau lebih gagasan atau keinginan yang akibat dari pertentangan tersebut berpengaruh terhadap perilaku seorang individu.
Sampai di sini, muncul pertanyaan baru yang tak kalah abstraknya, yakni apa yang dimaksud dengan hati? Membicarakan hati tak ubahnya dengan membicarakan listrik. Sesuatu yang tak bisa dilihat wujud esensinya, tapi manifestasi atau gejalanya dapat diamati. Oleh karena itu, membicarakan hal tersebut tidak mungkin berangkat dari hasil observasi terhadap wujud esensinya sebagaimana biasa dilakukan, tetapi bermula dari asumsi-asumsi atas dasar gejala yang tampak. Berangkat dari sudut pandang seperti itu, penulis mencoba menemukan jawab atas soal-soal yang diajukan mas Adidtya.
Kita sekarang kembali kepada definisi konflik batin yang diuraikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Dari definisi tersebut, sedikitnya ada tiga hal yang mesti diperhatikan, yakni (1) konflik batin terjadi di dalam hati. Artinya, konflik tersebut tidak bisa dilihat, bukan merupakan aktivitas fisik; (2) konflik tersebut diakibatkan oleh adanya dua gagasan atau keinginan; (3) terjadinya konflik tersebut dapat mempengaruhi perilaku seseorang.
Jika kita kembali mengikuti pola pikir yang dikembangkan psikoanalisa, maka bisa diambil asumsi bahwa yang dimaksud dengan batin atau hati adalah struktur kepribadian, yang terdiri dari bagian yang disadari dan yang tidak disadari. Contoh konflik yang terjadi di wilayah yang disadari sebagai berikut :
Seorang yang baru lulus dari SMK jurusan IT mendapat tawaran pekerjaan di sebuah perusahaan periklanan. Perusahaan ini mengkhususkan diri memproduksi iklan-iklan berbentuk animasi untuk ditampilkan di televisi. Pemuda ini memang lulusan dari program studi IT, tetapi jurusan yang diambil bukan multi media melainkan jurusan jaringan. Karena itu, ia tidak tahu banyak mengenai program-program aplikasi yang dibutuhkan dalam pembuatan animasi. Hal ini ia sadari betul. Ia sangat yakin jika ia terima tawaran tersebut pasti tidak bisa bekerja dengan baik, bahkan akan mengecewakan perusahaan tersebut. Namun di sisi lain, melihat sulitnya mencari lapangan kerja dan besarnya gaji yang ditawarkan oleh perusahaan iklan itu, ia sangat ingin menerima tawaran tersebut. Ia bingung untuk menentukan sikap, menerima atau menolak tawaran itu. Pertentangan ini membuat dia murung sepanjang waktu. Dia lebih suka menyendiri. Perilaku murung dan menyendiri ini tidak akan berakhir sampai dia mengambil keputusan pasti, menerima atau menolak tawaran tersebut.
Pemuda ini menyadari bahwa pangkal musabab kegelisahan hatinya adalah adanya peluang dan kemampuan dirinya. Meski ia menyadari hal ini, ia tak memiliki cukup kemampuan untuk segera mengambil keputusan. Akibatnya, pertentangan tersebut berpengaruh terhadap perilakunya, berupa murung dan suka menyendiri.
Adapun contoh konflik batin yang tidak disadari adalah sebagai berikut :
Penulis pernah menghadapi klien yang memiliki perangai yang tergolong kurang normal. Ia sangat impulsif, hampir tidak bisa mengendalikan amarah. Persoalan sekecil apa pun dapat menjadikannya kemarahannya meledak luar biasa kepada orang lain. Ketika ia sedang marah, kata-kata yang keluar tanpa filter norma sama sekali. Ketidaknormalannya yang lain, ia memiliki sifat hipokrit yang luar biasa. Dan ketika sifat tersebut ketahuan orang lain, ia sama sekali tidak memiliki perasaan malu. Yang terakhir, ia memiliki kesukaan selalu mencari pacar baru, meski untuk itu ia harus banyak mengeluarkan biaya sekadar untuk memikat calon yang diincarnya. Meski untuk itu ia harus membohongi orangtuanya untuk mendapatkan uang dan berhutang ke sana kemari.
Setelah melalui proses terapi yang relatif lama, penulis mendapat data-data pribadi klien tersebut sebagai berikut :
Klien ini berasal dari keluarga yang terbilang kaya dibanding teman-temannya yang lain. Namun, sejak kecil pemuda ini tidak pernah merasa bahagia. Pasalnya, ia merasa diperlakukan tidak adil oleh bapaknya. Ia seringkali dimarahi bapaknya. Ia merasa bapaknya selalu memusuhi dirinya, sementara terhapa saudara-saudaranya uyang lain, bapaknya menunjukkan sikap sayang yang luar biasa. Bapaknya seringkali melecehkan dirinya dihadapan saudara-saudaranya yang lain. Ia diberi stigmatisasi sebagai anak yang bodoh, tidak punya tanggung-jawab, kurang ajar dan sederet atribut negatif yang lain.
Diperlakukan tidak adil seperti itu membuat dia sangat membenci bapaknya. Bisa dikatakan bahwa kebencian telah mencapai ubun-ubunnya. Namun, ia tidak ingin memprotes sikap tidak adil yang dilakukan bapaknya. Justru ia selalu ingin bersikap sebagai anak baik di hadapan orantuanya tersebut. Apa pun ia korbankan untuk menuruti perintah dan membahagiakan orangtua. Meski tidak pernah mendapat aprsesiasi yang memadai dari bapaknya, namun ia terus ingin menunjukkan sebagai anak baik di hadapan bapaknya.
Dari data-data tersebut, penulis menarik kesimpulan bahwa sikap impulsifnya sebagai akibat dorongan untuk memberontak kepada sang bapak namun tidak pernah ia lakukan. Sifat hipokrit muncul karena dorongan memberontak tadi selalu ditutupi dengan perilaku yang ingin menunjukkan diri sebagai anak yang berbakti kepada orang tua. Sedangkan sikap yang ingin mendapat pacar sebanyak-banyaknya merupakan manifestasi dari keinginan untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia memiliki kelebihan. Sikap ini, secara tidak disadari, juga sebagai bentuk protes atas sikap bapaknya yang selalu merendahkan dirinya dihadapan saudara-saudaranya yang lain. Ia ingin menunjukkan bahwa dirinya juga punya kelebihan.
Setelah klien diajak membicarakan faktor-faktor yang melatar-belakangi sifat dan sikapnya tersebut, ia menjadi sadar. Dan sifat dan sikap yang disebutkan di atas berangsur berkurang.
Dari uraian di atas, jelas bahwa perilaku menyimpang yang ditunjukkan oleh klien berasal dari konflik-konflik yang dia alami pada masa kecil. Konflik-konflik dan akibatnya tidak pernah ia sadari sampai ia mendapat terapi untuk mengatasi penyimpangan perilaku tersebut.
Untuk memudahkan pembahasan, pertama-tama, istilah tersebut akan ditinjau dari sudut etimologis. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, di sebutkan bahwa konflik memiliki arti (1) percekcokan; perselisihan; pertentangan; (2) ketegangan atau pertentangan di dalam cerita rekaan atau drama ( pertentangan antara dua kekuatan , pertentangan dalam diri satu tokoh, pertentangan antara dua tokoh, dsb ). Sedangkan batin, di dalam kamus tersebut, diartikan : (1) yang terdapat di dalam hati; yang mengenai jiwa ( perasaan hati dsb )…..; (2) yang tersembunyi ( gaib; tidak kelihatan )…..; (3) semangat; hakikat : lahirnya menolong, batinnya menggolong, kelihatannya speperti hendak menolong, tetapi hakikatnya merugikan.
berbatin : berkata ( membaca ) di hati;
membatin : memikir di hati; memikirkan sampai meresap ke dalam hati;
membatinkan : merahasiakan ; menyembunyikan; menyimpan di hati;
kebatinan : 1 keadaan batin ( dalam hati ); segala sesuatu yang menyangkut masalah batin; 2 ilmu yang menyangkut masalah batin; mistik; 3 ajaran atau kepercayaan bahwa pengetahuan kepada kebenaran dan ketuhanan dapat dicapai dengan penglihatan batin; tasawuf; 4 ilmu yang mengajarkan jalan menuju ke kesempurnaan batin; suluk.
Dengan penjabaran secara etimologis tersebut, Kamus Besar Bahasa Indonesia memberi arti konflik batin sebagai berikut : konflik yang disebabkan oleh adanya dua atau lebih gagasan atau keinginan yang bertentangan menguasai diri individu sehingga mempengaruhi tingkah laku;……
Dari uraian tersebut jelas bahwa untuk istilah konflik batin ini, arti yang dipergunakan untuk kata batin adalah arti pada poin (1) yaitu “yang terdapat di dalam hati” atau “yang mengenai jiwa ( perasaan hati dsb )”, bukan arti pada poin lain. Jadi, konflik batin merupakan pertentangan yang terdapat dalam hati seseorang akibat adanya dua atau lebih gagasan atau keinginan yang akibat dari pertentangan tersebut berpengaruh terhadap perilaku seorang individu.
Sampai di sini, muncul pertanyaan baru yang tak kalah abstraknya, yakni apa yang dimaksud dengan hati? Membicarakan hati tak ubahnya dengan membicarakan listrik. Sesuatu yang tak bisa dilihat wujud esensinya, tapi manifestasi atau gejalanya dapat diamati. Oleh karena itu, membicarakan hal tersebut tidak mungkin berangkat dari hasil observasi terhadap wujud esensinya sebagaimana biasa dilakukan, tetapi bermula dari asumsi-asumsi atas dasar gejala yang tampak. Berangkat dari sudut pandang seperti itu, penulis mencoba menemukan jawab atas soal-soal yang diajukan mas Adidtya.
Kita sekarang kembali kepada definisi konflik batin yang diuraikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Dari definisi tersebut, sedikitnya ada tiga hal yang mesti diperhatikan, yakni (1) konflik batin terjadi di dalam hati. Artinya, konflik tersebut tidak bisa dilihat, bukan merupakan aktivitas fisik; (2) konflik tersebut diakibatkan oleh adanya dua gagasan atau keinginan; (3) terjadinya konflik tersebut dapat mempengaruhi perilaku seseorang.
Jika kita kembali mengikuti pola pikir yang dikembangkan psikoanalisa, maka bisa diambil asumsi bahwa yang dimaksud dengan batin atau hati adalah struktur kepribadian, yang terdiri dari bagian yang disadari dan yang tidak disadari. Contoh konflik yang terjadi di wilayah yang disadari sebagai berikut :
Seorang yang baru lulus dari SMK jurusan IT mendapat tawaran pekerjaan di sebuah perusahaan periklanan. Perusahaan ini mengkhususkan diri memproduksi iklan-iklan berbentuk animasi untuk ditampilkan di televisi. Pemuda ini memang lulusan dari program studi IT, tetapi jurusan yang diambil bukan multi media melainkan jurusan jaringan. Karena itu, ia tidak tahu banyak mengenai program-program aplikasi yang dibutuhkan dalam pembuatan animasi. Hal ini ia sadari betul. Ia sangat yakin jika ia terima tawaran tersebut pasti tidak bisa bekerja dengan baik, bahkan akan mengecewakan perusahaan tersebut. Namun di sisi lain, melihat sulitnya mencari lapangan kerja dan besarnya gaji yang ditawarkan oleh perusahaan iklan itu, ia sangat ingin menerima tawaran tersebut. Ia bingung untuk menentukan sikap, menerima atau menolak tawaran itu. Pertentangan ini membuat dia murung sepanjang waktu. Dia lebih suka menyendiri. Perilaku murung dan menyendiri ini tidak akan berakhir sampai dia mengambil keputusan pasti, menerima atau menolak tawaran tersebut.
Pemuda ini menyadari bahwa pangkal musabab kegelisahan hatinya adalah adanya peluang dan kemampuan dirinya. Meski ia menyadari hal ini, ia tak memiliki cukup kemampuan untuk segera mengambil keputusan. Akibatnya, pertentangan tersebut berpengaruh terhadap perilakunya, berupa murung dan suka menyendiri.
Adapun contoh konflik batin yang tidak disadari adalah sebagai berikut :
Penulis pernah menghadapi klien yang memiliki perangai yang tergolong kurang normal. Ia sangat impulsif, hampir tidak bisa mengendalikan amarah. Persoalan sekecil apa pun dapat menjadikannya kemarahannya meledak luar biasa kepada orang lain. Ketika ia sedang marah, kata-kata yang keluar tanpa filter norma sama sekali. Ketidaknormalannya yang lain, ia memiliki sifat hipokrit yang luar biasa. Dan ketika sifat tersebut ketahuan orang lain, ia sama sekali tidak memiliki perasaan malu. Yang terakhir, ia memiliki kesukaan selalu mencari pacar baru, meski untuk itu ia harus banyak mengeluarkan biaya sekadar untuk memikat calon yang diincarnya. Meski untuk itu ia harus membohongi orangtuanya untuk mendapatkan uang dan berhutang ke sana kemari.
Setelah melalui proses terapi yang relatif lama, penulis mendapat data-data pribadi klien tersebut sebagai berikut :
Klien ini berasal dari keluarga yang terbilang kaya dibanding teman-temannya yang lain. Namun, sejak kecil pemuda ini tidak pernah merasa bahagia. Pasalnya, ia merasa diperlakukan tidak adil oleh bapaknya. Ia seringkali dimarahi bapaknya. Ia merasa bapaknya selalu memusuhi dirinya, sementara terhapa saudara-saudaranya uyang lain, bapaknya menunjukkan sikap sayang yang luar biasa. Bapaknya seringkali melecehkan dirinya dihadapan saudara-saudaranya yang lain. Ia diberi stigmatisasi sebagai anak yang bodoh, tidak punya tanggung-jawab, kurang ajar dan sederet atribut negatif yang lain.
Diperlakukan tidak adil seperti itu membuat dia sangat membenci bapaknya. Bisa dikatakan bahwa kebencian telah mencapai ubun-ubunnya. Namun, ia tidak ingin memprotes sikap tidak adil yang dilakukan bapaknya. Justru ia selalu ingin bersikap sebagai anak baik di hadapan orantuanya tersebut. Apa pun ia korbankan untuk menuruti perintah dan membahagiakan orangtua. Meski tidak pernah mendapat aprsesiasi yang memadai dari bapaknya, namun ia terus ingin menunjukkan sebagai anak baik di hadapan bapaknya.
Dari data-data tersebut, penulis menarik kesimpulan bahwa sikap impulsifnya sebagai akibat dorongan untuk memberontak kepada sang bapak namun tidak pernah ia lakukan. Sifat hipokrit muncul karena dorongan memberontak tadi selalu ditutupi dengan perilaku yang ingin menunjukkan diri sebagai anak yang berbakti kepada orang tua. Sedangkan sikap yang ingin mendapat pacar sebanyak-banyaknya merupakan manifestasi dari keinginan untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia memiliki kelebihan. Sikap ini, secara tidak disadari, juga sebagai bentuk protes atas sikap bapaknya yang selalu merendahkan dirinya dihadapan saudara-saudaranya yang lain. Ia ingin menunjukkan bahwa dirinya juga punya kelebihan.
Setelah klien diajak membicarakan faktor-faktor yang melatar-belakangi sifat dan sikapnya tersebut, ia menjadi sadar. Dan sifat dan sikap yang disebutkan di atas berangsur berkurang.
Dari uraian di atas, jelas bahwa perilaku menyimpang yang ditunjukkan oleh klien berasal dari konflik-konflik yang dia alami pada masa kecil. Konflik-konflik dan akibatnya tidak pernah ia sadari sampai ia mendapat terapi untuk mengatasi penyimpangan perilaku tersebut.
Faktor-faktor Penyebab Timbulnya Konflik Batin
Jika merujuk pada struktur dan dinamika kepribadian yang dibangun Sigmund Frued, maka munculnya konflik batin ini adalah akibat pertentangan dari unsur-unsur kepribadian, Id, Ego dan Superego. Sebagaimana diuaraikan dalam tulisan saya terdahulu, Id berisi dorongan-dorongan instinktif-hewani; Ego berisi pikiran-pikiran rasional manusia yang sesuai dengan realitas yang dihadapi; dan Superego berisi sistem nilai dan norma yang berlaku di masyarakat di mana individu berada.
Sepanjang hidupnya, manusia selalu mangalami konflik dari unsur-unsur kepribadian tersebut. Konflik yang sering terjadi adalah pertentangan antara Id dan Superego. Ego sebagai penengahnya. Oleh karena itu, seseorang yang memiliki Ego lemah, diasumsikan, akan seringkali mengalami konflik batin yang tak terselesaikan dengan baik. Selanjutnya, konflik batin yang tidak kunjung diselesaikan dapat mendorong terjadinya konflik individu dengan individu lainnya. Seperti halnya klien yang dicontohkan di atas, karena ia sering berperilaku impulsif-agresif mengakibatkan tidak disukai dalam pergaulan. Meski ketika normal ia berperilaku sangat baik pada orang lain, namun karena perilakunya yang impulsif tadi sulit diduga oleh teman-temannya, ia pada akhirnya dijauhi teman-temannya. Dan, sikap teman-temannya yang menjauh darinya ini menjadikan ‘penyakitnya’ bertambah parah.
Mudah-mudahan tulisan singkat ini dapat memberi penjelasan mengenai konflik batin sebagaimana ditanyakan oleh mas Adhidtya. Penulis menyadari bahwa pemahaman penulis atas persoalan tersebut masih sangat dangkal, karena itu penulis mengharap ada pihak lain yang sudi memberi pencerahan dalam web blog ini.
Jika merujuk pada struktur dan dinamika kepribadian yang dibangun Sigmund Frued, maka munculnya konflik batin ini adalah akibat pertentangan dari unsur-unsur kepribadian, Id, Ego dan Superego. Sebagaimana diuaraikan dalam tulisan saya terdahulu, Id berisi dorongan-dorongan instinktif-hewani; Ego berisi pikiran-pikiran rasional manusia yang sesuai dengan realitas yang dihadapi; dan Superego berisi sistem nilai dan norma yang berlaku di masyarakat di mana individu berada.
Sepanjang hidupnya, manusia selalu mangalami konflik dari unsur-unsur kepribadian tersebut. Konflik yang sering terjadi adalah pertentangan antara Id dan Superego. Ego sebagai penengahnya. Oleh karena itu, seseorang yang memiliki Ego lemah, diasumsikan, akan seringkali mengalami konflik batin yang tak terselesaikan dengan baik. Selanjutnya, konflik batin yang tidak kunjung diselesaikan dapat mendorong terjadinya konflik individu dengan individu lainnya. Seperti halnya klien yang dicontohkan di atas, karena ia sering berperilaku impulsif-agresif mengakibatkan tidak disukai dalam pergaulan. Meski ketika normal ia berperilaku sangat baik pada orang lain, namun karena perilakunya yang impulsif tadi sulit diduga oleh teman-temannya, ia pada akhirnya dijauhi teman-temannya. Dan, sikap teman-temannya yang menjauh darinya ini menjadikan ‘penyakitnya’ bertambah parah.
Mudah-mudahan tulisan singkat ini dapat memberi penjelasan mengenai konflik batin sebagaimana ditanyakan oleh mas Adhidtya. Penulis menyadari bahwa pemahaman penulis atas persoalan tersebut masih sangat dangkal, karena itu penulis mengharap ada pihak lain yang sudi memberi pencerahan dalam web blog ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar